Review Novel Forever Yours by Karla M. Nashar

Judul                     : Forever Yours (Selalu ada ruang hati untuk cinta)

Penulis                 : Karla M. Nashar

ISBN                      : 978-979-780-301-8

Tahun Terbit      : 2009

Penerbit              : Gagas Media

Halaman              : 275 Halaman

Blurb                     :

Seketika itu juga ia menyesal telah bertanya. Ia menyesalinya karena—entah kenapa—ia bertanya dengan nada dan tatapan yang biasa ia gunakan jika ingin menarik perhatian seorang pria. Astaga! Pasti sekarang Uben mengira ia sedang menggodanya. Seorang pengacara penjaga lading? Dimana logikanya?

©©©

Cinta atau nafsu—perang yang dihadapi Adinda ketika bertemu Uben. Fakta bahwa Adinda adalah pengacara ibukota dan Uben yang hanya seorang penjaga lading harusnya cukup mengembalikan akal sehatnya. Yang terjadi justru sebaliknya. Laki-laki itu mampu membuatnya merelakan hidupnya berubah total. Namun, saat Adinda benar-benar memercayakan hatinya di tangan laki-laki itu, sebuah kebenaran muncul dan menampar telak semua yang diyakininya selama ini.

Masih tersisakah ruang di hatinya untuk Uben setelah mengetahui siapa lelaki itu sebenarnya?

***

Menceritakan seorang pengacara muda, Adinda Putri Majesty, yang tersesat di daerah Lembang ketika harus menangani kasus kliennya. Secara tidak sengaja dia sampai di suatu lading yang penuh dengan ditanami kubis. Dengan mobil yang mogok dan ponsel yang kehilangan sinyalnya, dia secara terpaksa harus tinggal sementara di sana, menunggu Uben, sang penjaga ladang, membenarkan mobilnya.

Dalam waktu empat harilah, prinsip Adinda diuji, dia yang memiliki kriteria laki-laki yang tinggi; tampan dan kaya, merasa tidak tenang ketika mengetahui dirinya menyukai Uben, yang walaupun memiliki body oke dan wajah tampan, tapi miskin dan hanya seorang penjaga ladang.

Setelah satu bulan memikirkan perasaanya, Adinda memutuskan untuk menetapkan hatinya pada Uben, walaupun dia harus mengorbankan Marlon, pria kaya, tampan, sayangnya berisiteri. Dia juga harus medapati teman-temannya menentangnya habis-habisan. Mengingatkan Adinda bahwa wanita itu hanya kagum dan bukan mencintai Uben.

“Kekayaan terletak pada pikiran seseorang, bukan pada jumlah rekening yang dimilikinya.”—hal 138.

Ini entah buku keberapa yang saya baca dari Mbak Karla. Jujur saya selalu suka dengan cerita-cerita beliau, terasa menghanyutkan dan selalu membuat kesan tersendiri. Apalgi buku Love, Hate and Hocus Pocus dan Ti Amo, Tia Amoria. Saya memang sengaja mengumpulkan cerita-cerita Mbak Karla, dan tinggal satu buku lagi yang belum saya punya. Sebelum Cahaya.

Buku ini memberikan kesan yang berbeda ketika saya membacanya. Bukunya memang sangat terasa aura Mbak Karlanya, tapi mungkin karena cerita ini adalah buku lama dan saya baru membacanya, saya merasa cerita sangat FTV sekali. Tentu saja karena saya membacanya di umur yang sudah segini, dan membuat saya telah mudah menebak jalan cerita ini akan seperti apa. Makanya saya sempat bingung apakah saya akan meresensi cerita ini atau tidak karena menurut saya tidak pas saja ketika buku tahun 2009 saya baca di tahun 2018 yang membuat pikiran saya telah berubah.

Sayangnya, alasan diatas tetap tidak mengubah saya akan cerita-cerita Mbak Karla, nyatanya walaupun terasa FTV, tapi bukunya tetap membuat saya hanyut dan tidak berhenti untuk membacanya. Narasi yang dituliskan Mbak Karla memang terasa pas untuk dibaca. Tidak terlalu detail sehingga tidak membosankan dan tidak terlalu cepat juga. Hanya ada beberapa bagian yang terasa diulang-ulang. Misalnya tentang kebingungan dirinya apakah dia akan menerima tawaran Marlon. Deskripsi tentang kebingunganya diulang dalam satu halaman yang sama. Selain itu saya hanya menemukan satu kesalahan saja di buku ini. Salahnya penyebutan nama panjang Ruben Winarthady di halaman 197 menjadi Ruben Wirathady.

Untuk karekter, saya tidak bisa menentukan apakah saya menyukai Ruben atau Adinda. Saya hanya tidak merasakan apa-apa untuk mereka berdua. Hanya ada tiga orang yang mencuri perhatian saya di buku ini. Olyn, sahabat Adinda yang hanya diangkat sekitar dua atau tiga kali. Entah kenapa saya langsung merasa kalau sahabat Adinda ini termasuk Melly dan Irish bukanlah sahabat yang baik. Terlalu mengompori. Entah kenapa saya langsung merasa bahwa mereka adalah orang-orang yang memang eksis sekarang. Mengaku kedok sahabat tetapi tidak memberikan solusi dan hanya mengompori saja.

“Kepemilikan yang banyak bukan inti dari semua ini. Justru, apa yang bisa kita syukuri dari sesuatu yang sedikit kita miliki, jauh lebih berharga daripada semua kepemilikan itu.”—hal.  171

Saya berikan 3 of 5 stars untung buku ini. Buku ini tentu cocok untuk kalian yang menyukai bacaan ringan dan menghanyutkan.

Tinggalkan komentar